Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen "TANGAN TUHAN"

Gerimis turun begitu saja, seolah memintanya untuk berhenti berjalan, sejenak beristirahat memejamkan matanya. Knatung matanya bergelayut, mengisyaratkan betapa dia telah bekerja sangat keras beberapa waktu terakhir. Namun langkahnya tetap menapak pada jalanan tanah yang mulai becek. Gamisnya sedikit ternoda oleh air yang terinjak dirinya.
Dia berani melawan gerimis yang semakin deras, bukan berarti dia membawa tameng. Sama sekali tanpa pelindung. Perlahan namun dengan guyuran yang begitu banyak, bajunya basah, sesekali dia menyeka air yang menetes di wajahnya, dan kembali berjalan.
Dia berhenti, ketika tepat dihadapannya, seorang laki-laki menghentikan jalannya. Dia yang semula menunduk, kini sedikit  mendongakkan kepalanya, tanpa senyum.

"Ayo pulang", ajak laki-laki itu.
"Ana sedang dalam perjalnan pulang, dan antum menghentikan ana di bawah hujan".
Laki-laki tadi diam, dan memberikan sebuah payung lipat kepadanya.
"Pakai, jangan sampai tubuh anti terlihat hanya karena  anti dengan nekat melawan hujan".

Dia hanya tertunduk, dan memayungi dirinya. Laki-laki tdi memberi jalan, dia berlalu tanpa berterimakasih. Begitupun laki-laki itu, membiarkannya melenggang tanpa mengehentikan "lagi"langkahnya. Di persimpangan jalan dia berhenti, dan berbalik. Menengok laki-laki yang tadi memberinya payung, terkejut, matanya melebar, laki-laki itu masih berdiri di tempat yang sama, melihatnya pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata. Mereka saling pandang untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya dia memilih melanjutkan perjalanannya, dengan baju yang terlanjur basah.
Hujan masih saja mengguyur bahkan ketika dia sudah hampir lelap dalam buaian malam. Namun juhan  membawnaya mengenang kejadian siang tadi.
Laki-laki yang memberinya payung tadi, adalah seorang  kenalan yang meminta dirinya secara langsung untuk menjadikan dirinya sebagai istri. Ya, laki-laki yang dengan seluruh keberaniannya mengajak berumah tangga. Lamunan itu berlarut, menariknya dalam lelap yang memikat. Pagi datang menyambut dengan terang yang hangat. Bekas hujan semalam masih  meninggalkan genangan di beberapa tempat. Dia memulai rutinitasnya, sebagai mahasiswi semester akhir yang mau tidak mau harus mengurus skripsinya.

"Assalamu'alaikum".
"Wa'allaikumsalam", jawabnya kaget. Mereka saling pandang kemudian saling menundukkan kepala.
"Kenapa anti menghindar dari ana? Ana tidak meminta sesuatu yang merugikan, ana cuma ingin kepastian anti, menerima atau menolak khitbah ana?".
Dia hanya diam, menikmati terpaan angin yang begitu segar, sesekali menutup mata menghindari udara yang menusuk.
"Apakah diam anti sebagai jawaban?".
"Sebelumnya, apa yang membuat antum begitu yakin berniat mengkhitbah ana?".
"Ana meyakini apa yang ustadz ana sampaikan, dan anti yang ustadz ana sarankan, beliau mengenal anti lebih dari siapapun.Ana tidak mendesak, ana hanya mengingatkan, bahwa sudah hampir sebulan anti belum memberi jawaban".
"Akhi, tidak ada yang mengenal ana lebih dari ana dan orang tua ana. Jika antum lebih meyakini saran ustadz ana, silahkan, tapi maaf akhi, ana tidak bisa menerima khitbah antum".
Mereka diam sejenak. Sebuah perjumpaan yang tidak disengaja, yang memintanya membicarakan hal sedemikian rumitnya.
"Alkhamdulillah,  akhirnya ana mendapatkan kepastian anti, setidaknya tidak sia-sia ana menunggu selama ini. Jika boleh ana tau, dengan pertimbangan apa anti menolak khitbah ana?".
"Afwan akhi, jika ana tidak sesuai harapan beliau, ustadz antum. Tapi jika bleh ana jujur, ana sudah dijodohkan oleh abi, ana tidak  memiliki kuasa untuk menolaknya, ana ingin berbakti".
"Baktimu dengan menerima perjodohan?".
"Apapun ana lakukan jika itu tidak menyalahi syariat, jika perjodohan ini membuat orang tua ana bahagia, ana hanya berharap ridho Allah untuk kehidupn ana kelak. Sekali lagi ana minta maaf. Assalamu'alaykum".
Dia berlalu, meninggalkan laki-laki tadi tanpa berbalik. Laki-laki itu terus melihatnya, hingga gedung-gedung tinggi menenggelamkan bayangannya. Hari berlalu dengan cepat.

"Aski, bagaimana kabar laki-laki yang mengkhitbahmu?".
"Aski menolaknya bi".
"ho kenapa? Abi belum dikenalan dengan dia".
"Aski menerima perjodohan yang abi bicarakan dengan Aski, insyAllah "Aski siap menikah bulan depan".
"Lho? Kenapa kamu yakin dengan orang yang abi bicarakan? Bagaimana jika abi berbohong?".
"Aski mengenal abi, abi bukan seorang pembohong". Dia tersenyum, begitu juga dengan abinya. Mereka memiliki tatapan mata yang sama.
"Kenapa Aski menerima perjodohan itu?".
"Abi lebh tau laki-laki seperti apa yang pantas  untuk Aski, untuk mendidik Aski".
"Kamu benar. Abi yang lebih tau kepribadianmu, begitu pula laki-laki yang sebelumnya abi jodohkan denganmu. Tapi ternyata abi salah, abi tidak mengenal putri abi denan baik".
"Maksud abi?".
"Iya. Kini abi tidak memiliki kewenangan lagi untuk menjodohknmu dengan laki-laki itu"?.
"Kenapa abi" Laki-laki tadi menolak Aski?".
"Tidak. Dia bahkan jatuh hati sejak pertama melihatmu di pengajian abi, dia bahkan rela menunggumu memberi kepastian, yang ternyata kamu menolaknya tempo hari".
"Maksud abi Ahsan?", dia terkejut.
"Iya. Ahsan adalah santri abi, santri terbaik abi. Abi yang memintanya bertanya langsung kepadamu, dengan pertimbangan kamu mengenalkannya kepada abi. Ternyata kamu sudah mampu mempertimbangkann banyak hal".

Sepi. Dia hanya menatap mata abinya, sedangkan abinya menatap balik tanpa ekspresi.
"Aski, menikahlah dengan siapapun yang menurutmu baik untukmu. Jika kamu sudah mampu menilainya, lakukan saja sendiri jika ternyata penilaian orang lain justru menyulitkanmu. Di mata abi dia adalah yang terbaik, namun kamu memutuskan sesuatu tanpa tau kebenarannya. Lihatlah segala sesuatunya dari berbagai sisi, mungkin Ahsan datang padamu dengan cara yang berbeda karena bukan abi yang mengenalkannya padamu, abi juga tidak menyebut jika laki-laki itu adalah Ahsan, abi ingin tau sejauh mana pemikiranmu, tentu Ahsan sudah tau mengenai hal ini, dan sejak awal pula dia telah bersiap untuk kemungkinan seperti ini. Abi minta maaf Aski".

Dia tertunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tangisnya pecah, terisak. Ahsan adalah santri abi yang sudah sejak lama dia perhatikan, pun dia juga memiliki perasaan yang sama. Ketika untuk pertama kali Ahsan menyatakan keinginannya, luar biasa bahagia Aski, namun di waktu yang sama abi membicarakan perjodohan itu tanpa mengenalkan siapa sosok laki-laki itu.
"Aski minta maaf abi, ini salah Aski. Aski keras kepala, sombong".
"Abi selalu memaafkan Aski. Bangunla, cuci muka dan berdoalah".

Aski mengangguk dan pergi meninggalkan abi. Dia tertunduk, bersimpuh menghadap Tuhannya. Dia menginginkan yang terbaik, namun sekejap dia melapaskan yang datang dengan segala kebaikan hanya karena terlalu erat memegang keyakinan. Dalam tangis yang masih membasahi wajahnya, tak henti-henti dia meminta ampun atas kelalaiannya. Bayangan Ahsan masih sangat terlihat jelas. Aski menyesali segala keputusannya yang terkesan buru-buru dan memandang sebelah mata keyakinan seseorang.

Siang itu dalam sujud panjangnya, Aski meninggalkan dunia dengan segala keindahannya dengan bacaan Alquran tak putus dia baca. Aski pergi seperti dia meninggalkan Ahsan, tanpa sepatah kata untuk sekedar berpamitan.

(11/02/16)
Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Cerpen "TANGAN TUHAN""