Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Patah #2

Hari yang aku tunggu tiba.

Sejak semalam rumah sudah ramai oleh sanak famili. Kerabat jauh sudah berdatangan. Bahkan yang tidak terlalu ku kenalpun ikut datang di hari bahagiaku. Mereka juga bahagia atas bahagiaku. Betapa bersyukurnya aku memiliki keluarga seperti mereka.

Lampu-lampu besar sudah dinyalakan sejak semalam, tenda-tenda besar sudah berdiri kokoh di pelataran rumah, kursi untuk tamuku sudah tertata sebagian, dan ya; kursi pelaminanku sudah bertengger dengan cantiknya. Semua didominasi warna biru, warna kesukaanku. Dia, calon suamiku memercayakan segala kebutuhan dan persiapan perninkahan ini ke keluargaku, dia meneria segala yang kami sediakan.

Suara musik sudah terdengar sayup-sayup selepas shubuh. Rumahku semakin ramai. Begitupun hatiku. Degup yang tak bisa kutahan, bertambah semakin kencang disetiap detiknya. Ada bahagia dan khawatir bercampur jadi satu. Aku bersyukur atas pernikahan ini, namun disaat yang sama akupun khawatir atas pernikahan ini.

Ibu datang ke kamarku. Beliau memelukku, menepuk punggungku sesekali, mengusap kepalaku dengan haru. Ya, beliau terisak. Akupun larut dalam tangisan pagi itu. Beliau tidak mengucapkan apapun. Namun usapan tangan dan isakannya sudah menjelaskan segalanya. Kami hanya saling mendekap dan mengusap airmata satu sama lain. Beliaaua tersenyum dan kembali memelukku.
Aku melihat ibu berlalu di balik pintu. Aku seorang diri. Kamar ini, sudah dihias sedemikan rupa, betapa agungnya sebuah pernikahan pikirku. Semua bahagia. Segala hal diperhatikan. Disiapkan sebaik dan sesempurna mungkin. Lantas bagaimana mungkin ada yang rela menukar keagungan itu dengan perpisahan dan pengkhianatan yang begitu menyakitkan?

Ah aku hentikan liarnya pikiranku. Ini hari bahagiaku.

Waktu berlalu. Pria yang akan menjadi suamiku dalam beberapa jam ke depan, sudah datang bersama keluarga besarnya. Perasaan ini semakin tidak karuan. Perutku seperti diaduk-aduk, tak ada nafsu makan, tak kuasa tertawa ketika semua sedang berkelakar.

Entah kenapa jam di rumah terasa berputar sangat cepat. Waktunyapun tiba.

Pria itu, dengan setelah blazer dan celana kain dengan warna senada, duduk di depan ayahku. Dia duduk dengan tegak, matanya memandang jauh ke depan. Sedang ayah, sesekali menundukkan kepala dan menarik nafas dalam-dalam.

Aku tidak ikut duduk di sana. Aku menunggu di tempat terpisah, bersama ibu dan saudara-saudaraku. Mulutku tak henti bacakan doa-doa, ibu dan saudaraku menggenggam jari-jariku. Aku berada pada titik kepanikkan tertinggi.

"SAH". Seketika terdengar riuh hamdallah di luar sana diiringi tawa yang tak terelakkan.

Ibu memelukku. Ibu menangis dipundakkau. Beliau rerisak, pun denganku. Aku mengeratkan lingkaran tanganku di tubuhnya. Aku tak bisa menahan air mataku. Kerudung ibu basah oleh tangisku. Ibu mengusap punggung dan kepala. Berkali-kali mencium keningku. Aku tak ingin melepaskan pelukan ini.

Haru hari ini belum usai. Aku keluar dari ruangan, duduk di sebelah pria yang kini menjadi "suami" ku.

Setalah hari ini, akan banyak haru dan tawa yang aku alami bersama pria ini. Akan ada banyak masalah dan cinta yang aku lalui bersama pria ini. Ya, pria inilah yang aku pilih untuk menemani seluruh sisa perjalanan hidupku.

Hanya dengannya, dan anak-anak kita nanti.

Soon #patah3

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Patah #2"