Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

#dua Ruang Tanpa Jendela : Singgah



Singgah 

Sesungguhnya, sudah lama aku mengetuk rumahnya. Namun tak diindahkan. Padahal sederhana, hanya ingin dilihat. Tak mengapa jika dia menolakku untuk bertamu, namun setidaknya si empunya rumah sudah menatap jelas siapa tamunya. Nihil. Kedatanganku ditolak mentah-mentah. Bahkan, sejak kabar burung bersautan di udara.

Kedatanganku bukan tanpa tujuan. 

Aku adalah utusan. Diberikan titah untuk memberikan sesuatu. Ada titipan besar yang harus ku berikan. Namun entah bagimana harus ku sampaikan maafku, sebab nyatanya tak ada sedikit ruang, untukku sekadar mengucap permisi.

Entah bagaimana, dia tak pernah sekalipun memandangku. Padahal, aku sudah sejengkal di pelupuk matanya. Nyata dan teramat dekat. 

Berulang, yang dia katakan hanyalah kosong. Astaga! Kurang besar apa aku ini? Apakah aku tak cukup berwarna untuk disebutnya ada? Bentuk? Ah, jika memang parameter tamu baginya adalah memiliki volume. Lalu bagaimana diriku? 

Aku? Aku adalah sebuah kehidupan yang nyata. Tegar atas realitas dan  tenang atas fiktif. Seperti tadi. Aku, tak bervolume. Tak ada dimensi pada diriku. Bahkan, setitik bayangpun tak ku miliki. Mungkin, demikianlah aku dicipta. Tanpa satuan apapun

Namun, satu hal. Mereka, mencirikanku dengan sebutan kehampaan. Hah? Mereka salah. Justru aku adalah segurat warna yang mampu lukiskan beragam warna pelangi. Tak hanya mejikuhibiniu saja. Terserah. Toh, nyatanya mereka memiliki rasa yang sama atas diriku.

Tapi ada masa, dimana aku begitu diminati khalayak. Kehadiranku kadang pun ditunggu. Katanya aku akan dijadikan obyek observasi. Sebab, telah banyak tuan rumah yang berubah semenjak menerimaku sebagai tamunya. Bahkan tak sedikit yang kemudian meninggalkan cangkangnya, sebab ingin melakukan perjalanan baru yang panjang, sejak mengijinkanku menetap di dalam rumahnya.

Aku? Tenang. Aku bukan perusak. Berbentuk saja tidak, lalu bagaimana aku bisa melakukan perusakan? Kerusakan yang nampak, sebab mereka salah menginterpretasikan apa yang aku sampaiakan. Itulah mereka --manusia--, mata melihat, telinga mendengar, tapi hatinya dibiarkan mati.

Sama halnya dengan dia --mungkin--. Kehadiranku ditolak, sebab berita yang sampai ke telinga kananya adalah titelku sebagai perusak. Sedang telinga kiri, mengirimkan pesan singkat yang isinya adalah sebab ketidakwarasan seluruh penduduk bumi. Hahahahahaha. Shit!

Seandainya mereka mau sebentar saja mendengarkanku.

Aku, adalah sesuatu yang mereka ciptakan. Mereka adalah pengundangku, yang memicuku untuk bereaksi terhadap diri mereka.  Mereka adalah gerbangku untuk masuk lebih dalam pada jiwanya, namun selalu ada sepasang pintu tinggi nan besar yang selalu menghalangi dan membatasi gerakku.

Padahal, semakin mereka menyangkal keberadaanku, semakin tersiksalah diri mereka. Lahir dan batin. Bagaimana? Sungguh, mereka lah yang melakukan kegilaan itu pada diri mereka sendiri. Lalu --kembali-- mencari kambing hitam atas hal yang terjadi di luar rencana mereka.

Kenangan adalah salah satu alat pacuku. Sedikit aku disinggung, maka aku akan sangat agresif. Karena memang demikianlah aku dicipta. Tanpa bentuk, tak menempati ruang dan tak mengenal waktu, namun aku sangat aktif dalam otak dan hati mereka.

Aku, tak bisa dihindari. Aku hanya perlu dan minta didengarkan, tanpa disalahkan. Apakah aku sesuatu yang memalukan? Tidak. 

Baik, ku kenalkan diriku secara terhormat. Agar tak ada lagi nama yang salah kaprah di jalanan. 

Kalian, bisa memanggilku "personal disorder", dan aku bukanlah sebuah aib. 

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

2 comments for "#dua Ruang Tanpa Jendela : Singgah"

Yonal Regen September 23, 2020 at 1:11 PM Delete Comment
sedari awal membaca dibuat penasaran siapakah 'aku'. Menarik si 'personal disorder' ini... langsung googling nyari info tambahan :)
Butiran Atom September 23, 2020 at 1:45 PM Delete Comment
Keren