Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman Bertemu Konselor

Hari itu adalah hari selasa. Ku hubungi seseorang untuk meminta rekomendasi konselor. Dikirimlah sebuah nomor, konselor ini ternyata juga seorang ustazah yang sering mengisi kajian.


Ku hubungi beliau dan menceritakan masalahku. Pesanku dibalas, yang berisi janji jadwal temu dan sebuah tugas, yakni membaca surat al-fatihah sebanyak 100x setiap hari.

Janji temu kami adalah hari kamis. Menunggu dua hari terasa sangat lama bagiku. Jarak tempat bertemu dari rumahku, bisa dibilang sangat jauh, butuh sekitar 45 menit sampai 1 jam. Tak mengapa, sama sekali bukan masalah.

Pertemuan Pertama dengan Konselor

Sebelum bertemu, sempat ku lihat latar belakang pendidikan terakhirnya, magister psikologi. Tentu beliau tidak akan asal menasihati, karena beliau memiliki latar belakang keilmuan yang liniear.

Di awal kami saling menyapa untuk mencairkan suasana. Kemudian beliau segera membuka obrolan mengenai masalah yang sudah aku sampaikan sebelumnya.

Dari pertemuan pertama itu, beliau mengajakku melakukan beberapa hal secata bertahap.

Tahap Konseling dengan Konselor

Mengakui

Ini adalah tahap pertama, beliau langsung bertanya “apa mbak nimas menerima?”, “apa itu benar?”. Tentu kita harus jujur mengakui dan menceritakan semuanya “tanpa perlu membela diri”.

Kenapa? Karena yang kita butuhkan adalah bantuan untuk “tumbuh”. Lalu bagaimana kita bisa tumbuh, jika prosesnya saja sudah tidak benar?

Validasi Emosi

Validasi emosi seringkali diabaikan. Di bagian ini, beliau memintaku menuliskan semua emosi yang aku rasakan selama sepekan terakhir, termasuk perilaku yang aku lakukan.

Jadi, ketika kita melakukan validasi emosi, bukan hanya perasaan kita saja yang perlu diakui keberadaannya, tetapi juga perilaku kita yang berubah atau tidak seperti biasanya. Perubahan perilaku ini, juga hasil dari emosi yang kita rasakan atau peristiwa yang kita alami.

Membangun Kesadaran

Aku sempat berpikir lama di tahap ini. Memangun kesadaran. Rasanya cukup mudah, tetapi ternyata tidak juga. Di bagian ini, aku diminta untuk memaknai pilihan yang aku ambil.

Mengingat kembali alasan-alasan di balik pilihan atau keputusan yang telah aku ambil (maaf aku tidak bisa menyebutkan masalah atau menjelaskan beberapa hal secara detail, karena ini privasi :) ).

Pemaknaan

Aku diajak untuk menerima dan berdamai dengan semua masalah yang sedang dihadapi.

Pemaknaan ini juga salah satu bentuk syukur kita atas semua hal yang sempat kita lupakan atau tidak kita sadari. Salah satu contohnya, mungkin hari ini kita lupa bersyukur karena memiliki jari-jari yang sehat sehingga bisa mengetikan berbagai kata menjadi artikel.

Penerimaan

Penerimaan ini berasal dari hal-hal yang bisa kita kendalikan atau hal-hal yang justru menjadi sumber masalah kemudian menerima semuanya secara sadar.

Di bagian ini, kita tidak perlu memperlihatkan betapa superiornya diri, sebab yang kita butuhkan adalah menerima semua “kekurangan” yang secara nyata ada pada diri ini.

Mendekat pada Tuhan

Bagian ini memang terlihat “biasa”, tetapi siapa sangka, jika hal ini justru yang menguatkanku sampai detik ini.

Beliau selalu mengingatkanku untuk mendekat pada Allah, memperbanyak dzikir, mengaji, sabar dan sholat. Hal-hal ini memang sudah selayaknya kita lakukan sebagai umat yang beriman, tetapi ketika kita benar-benar berserah, ternyata ketenangan dan kekuatan itu bisa kita dapatkan.

Sampai hari ini, kami masih berkomunikasi. Semua hal yang aku rasakan atau terjadi padaku, akan aku sampaikan padanya. Sebagai konselor, beliau sangat mengayomi.

Satu hal yang aku ingat, beliau akan selalu menguatkan kita apapun masalahnya. Di akhir pertama dengannya, aku menangis tanpa bisa mengatakan apa pun.

Kemudian beliau menggenggam tanganku dengan erat dan menatap mataku. 

Beliau berkata “tidak apa-apa, menangis saja. Menangis sampai mbak lega. Tidak apa-apa. Mbak hebat, sudah bisa bertahan sampai titik ini. Ingat ya, kamu hebat, kamu berharga dan kamu tidak terbuang. Kamu hebat. Tidak apa-apa, menangis saja. Kamu kuat, kamu hebat”.

Mendengar ucapan seperti itu, hati ini semakin hangat.

Sebagai manusia, kita memang membutuhkan kehadiran orang lain, salah satunya untuk menguatkan ketika lemah. Beliau tidak pernah melarang saya menangis, justru menyuruh menangis, karena ini bentuk luapan emosi yang harus dikeluarkan.

Beliau tidak meminta saya harus segera bangkit. Namun beliau selalu meminta saya untuk melalui setiap prosesnya dengan sadar, dengan keyakinan bahwa saya punya Tuhan.

Salah satu pesan beliau yang juga selalu aku ingat, adalah 

“Allah ingin mengangkat derajatmu saudariku. Ingatlah bahwa ujian ini adalah untuk meninggikan derajatmu”

 

Aku memanggilnya ustazah, seorang konselor yang begitu hangat. Apakah berbayar? Tidak. Beliau tidak pernah memberikan tarif untuk konseling dengannya, tetapi jika ada yang memberi, akan beliau donasikan untuk kemanusian (dan kita akan mendapatkan laporan penyalurannya).

Menutup tulisan yang singkat ini, jika memang kita butuh kehadiran seseorang untuk menguatkan, maka katakan. Sebab Nabi dan para sahabatnya pun pernah merasakan titik terendah atau kelemahan dalam hidupnya.

Fyi, menulis adalah salah satu coping strategiesku, jadi mungkin tulisan-tulisan ke depannya juga tidak akan terlalu panjang.

Terima kasih sudah membaca :)
Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Pengalaman Bertemu Konselor"