Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hilangnya Rembulan (part 1)

Hari itu dia datang padaku, diam namun membuatku terusik dalam tenang. Matanya nanar, masih ada bekas sekaan air mata yang belum kering di ujung matanya. Rambutnya terikat namun setengah terurai, panjang menjuntai ke pundak kecilnya. Ah, dia begitu kacau, dan rusak.

Dia diam, dan masih saja diam. Akupun diam, ikut mendiamkan diamnya dia siang itu. Matanya sesekali bekedip, atau linangan itu kadang kembali muncul. Namun tak juga dia menetes ke pahanya, paha yang terutup kain tipis itu. Ya, kadang akupun mencuri pandang ke sana. Maaf.

"Kenapa Re?" tanyaku. Seperti dugaanku, dia hanya menatapku jemu. Ah, bisa apa aku selain mengirimkan senyum terbaikku untuk gadis ini. Astaga, dia selalu bisa menghujam hatiku dengan tepat. Tepat pada luka yang tak pernah sembuh.

"Efe pergi" jawabnya singkat. Ah! Aku terhenyak.

"Bukankah itu yang seharusnya dia lakukan? Setelah menyelesaikan semuanya?"

"Ya. Semuanya selesai, termasuk hubungan kami" dia kembali menekuk wajahnya, menutup wajahnya dengan kesuraman yang entah kapan hilang.

"Re, kamu tau Efe punya kekasih. Seorang gadis yang juga kau kenal baik"

"Mereka sudah selesai Ko. Sudah lama"

"Dan kamu tiba-tiba memaksa masuk ketika mereka seharusnya butuh penasihat?"

"Bukan aku. Hubungan mereka telah kacau sejak awal. Hubungan mereka salah sejak awal, dan kamu tau itu Ko"

"Re, dengarkan aku baik-baik. Aku ada di sini hanya untukmu, tapi bukan untuk membenarkan kesalahanmu. Aku mungkin akan mati-matian membelamu ketika kamu tersaikiti. Tapi untuk kali ini, maaf. Akulah orang pertama yang akan menyalahkanmu".

"Ko!"

"Re, bertahun-tahun mereka berjuang dengan hubungannya. Kamu juga ada dalam cerita perjuangan mereka, kita ada"

"Ko, ini beda. Semuanya sudah berubah, mereka tak pernah baik, mereka hanya mencoba baik di depan kita. Di depanku"

"Re, pernikahan mereka seharusnya menyadarkanmu. Bahwa Tuhan itu ingin kesucian. Sebuah keikhlasan untuk hidup berdua dengan pasangannya. Bukan seperti ini"

"Wanita itu yang merusak pernikahannya. Dia sia-siakan suami yang begitu tulus mencintainya. Lalu dia datang padaku meminta sedikit perhatian, sedikit kepedulian, dan aku yang salah?"

"Kamu itu wanita berpendidikan. Tidakkah kepekaanmu juga terdidik Re? Setiap pernikahan itu ada masanya, tidak selamanya mereka akan baik-baik saja, pun juga tidak selamanya mereka akan bergulat dengan badai"

Kali ini, aku membiarkan dia tenggelam dalam isakan. Kutatap lekat ketika dia menyeka kedua matanya, wajahnya basah.

"Re, biarkan Efe pulang ke rumahnya. Rumah yang juga merindukan penghunginya. Bantu Efe mengingat segala kebaikan wanitanya, kekasih yang juga istrinya. Muliakan dirimu dengan tidak kembali pada kehidupan mereka"

"Benar. Pada akhirnya akulah yang kalah. Akulah yang kembali kehilangan dan selalu melepaskan. Akulah yang terluka dan selalu salah. Aku Ko, aku!"

"Re, apakah kamu lupa? Setiap yang mengalah adalah pemenang, menang atas egonya sendiri. Bahwa setiap yang ikhlas menerima akan mendapatkan yang terbaik? Re, biarkan Tuhan bekerja. Jangan risaukan bagaimana Tuhan bekerja, ya, bekerja memperbaiki hati dan hidupmu"

"Ko, aku tak bisa jika bukan Efe. Sungguh"

"Re, ada hati yang harus kau jaga. Bukan hanya istri Efe, namun juga keluarga besar Efe dan istrinya. Juga hati keluargamu Re. Mereka yang akan jauh terluka dibanding dirimu"

Isaknya pecah, setengah berteriak dia menumpahkan tangisnya. Tak ada tisu atau saputangan yang kuberikan, juga pundak. Siang ini, kubiarkan dia menangis seorang diri, kubiarkan dia menutup wajahnya yang (kembali) basah dengan jari-jarinya yang menggertak.

Bukan aku tidak tau seberapa hatinya patah, aku tau bahkan sangat paham apa yang dia rasakan. Akulah yang menemaninya di setiap tangis itu tumpah. Akulah selalu memberinya segelas soda ketika hujatan dan cacian itu menghantui malam-malamnya. Aku - dan dia tak pernah menyadarinya.

Dia pergi tanpa mengucap pisah. Bahkan dia membiarkan gelas sodanya utuh tak tersentuh lipstiknya sedikitpun. Ya, kali ini dia benar-benar hancur. Aku masih termangu di ujung cafetaria langgangan kami. Pikirankupun seketika berkecamuk. Bukan mengkhawatirkan keselamatan dia di jalan. Namun, apakah dia akan bertahan kali ini?

Ah, tak ada pesan singkat masuk atas namanya. Panggilan telefonpun tak ada. Tak pernah selama ini dia mendiamkanku setelah pertemuan kami, dan tak pernah segelisah ini aku menunggu kabar darinya.

Kring! Kring! Kring! Notifikasi surel berdering. Pada akhirnya, akulah yang kalah.

------

Untuk : Temanku yang bersoda

Maaf tak sempat berpamitan. Biarkan aku pamit padamu dengan cara seperti ini, caraku.

Ko, aku hamil dan sudah 22 pekan. Janin Efe.

Tolong rawat dia jika dia punya kesempatan untuk hidup.

Ko, aku pergi. Aku menyayangimu, selalu dan sangat.

Yang juga diam-diam mencintai temannya
--Rembulan--

-----

Hidupnya lebih abadi sekarang, dan Tuhanlah sedang bekerja.

Re, kutunggu datangmu~

#komunitasonedayonepost #ODOP_6

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Hilangnya Rembulan (part 1)"