Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hanya Sebentar

Tak ku sangka jika akhirku adalah seperti ini-

--------------
Aku percaya setiap manusia punya mimpi yang ingin dia wujudkan. Bebeberapa diantara mereka memiliki kesempatan untuk hidup dalam mimpi-mimpinya, namun beberapa yang lain harus menerima kenyataan bahwa mimpi itu terlalu jauh untuk dia wujudkan. Dan pada akhirnya, mereka menjalani hidupnya dengan tinggal dalam mimpi orang lain. Ya, mereka menjadi pelengkap mimpi orang lain? Menyedihkan? Tidak. Setiap manusia ditempakan Tuhan pada posisinya masing-masing. Tuhan tau benar, apa yang manusia butuhkan bukan sekedar memberikan apa yang manusia inginkan. Jangan lupa, Tuhan itu Maha Bijaksana.

Seperti kisah salah satu anak manusia, yang harus menerima kenyataan bahwa dia adalah pelengkap mimpi orang lain.

--------------

Hari itu itu dia bertekad, untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang megister di salah satu Universitas Islam swasta ternama. Semua dokumen disiapkan, bahkan rincian biaya sekolah sudah dia rinci dengan baik. Setidaknya, dengan beberapa part time dalam sehari dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk biaya kuliah. Namun, Tuhan kembali memberikan dia cerita baru. Dalam waktu beberapa menit, mimpi-mimpinya hilang. Universitas impiannya taknbisa menerima calon mahasiswa seperti dia.

Tak berhenti disitu. Salah satu beasiswa pendidikan dari kementrian dia ambil, bukan untuk mengejar prestige di masyarakat. Namun murni karena dia ingin menuntas keinginannya untuk belajar. Dokumen kali ini lebih banyak dan lembaran rupiahpun semakin banyak berbelok untuk melengkapinya. Terlebih biaya sekali tes kesehatan yang disyaratkan, mencapai nilai jutaan. Tak ada yang menyurutkan semangatnya, termasuk jika dia harus berganti bus beberapa kali dalam sehari. Namun soal biaya ini, dia menyerah.

Di salah satu malamnya, dia menatap catatan rincian biaya hidupnya sampai akhirnya dia hisa mendapatkan gelar magister. Ditulisnya dengan huruf kapital di berbagai tempat "ALLAH MUDAHKANLAH". Dipandangnya tulisan itu lekat-lekat, seakan dia sedang bertanya pada Tuhannya, "Kenapa jadi seperti ini? Semuanya terasa berat dan sulit". Dia menangis, hanya isakan tanpa suara.

Lelah dalam tangis, dia terlelap. Tuhan tidak ingin berlarut dalam kesedihannya. Baginya kegagalan dan berbagai halangan yang dia hadapi seolah pertanda, bahwa bukan itu yang Tuhannya inginkan untuk dia. Ya, logika kembali bekerja dengan baik. Logikanya mampu memilah mana emosi dan keberan hakiki. Dia bangun dari tidurnya dan beberapa rakaat sholat menjadi pilihannya.

Suaranya lirih, "Allahurabbi, Rabb semesta alam. Aku berserah pada-Mu, ku serahkan segala urusanku. Rabb, aku lemah tanpa-Mu. Akupun bukan apa-apa tanpaMu. Kupercayakan segalanya pada-Mu, jika baik tolong mudahkan segalanya dan ternyata jika tidak untukku dan orang-orang terdekatku, tolong kuatkan aku"

Dia kembali menangis, matanya sembab. Selalu satu tangisan tanpa suara. Dia memilih menangis di hadapan Rabb-Nya, karena begitulah hakikat manusia, merendah pada Tuhannya bukan di hadapan jutaan manusia.

Sepertinya waktu telah menyembuhkan lukanya. Dia tak lagi mengejar mimpinya untuk kembali belajar, namun segalanya masih dia simpan 4rapi dalam satu folder di kamarnya. Dia kini seorang pegawai di sebuah kantor advokat ternama. Hari-harinya berkutat denhan tumpukan berkas dan jadwal sidang yang berderet. Lelahnya telah telah mengganti duka menjadi syukur.

Kali ini dia tak berani berjalan seorang diri. Bukan karena takut terjatuh tanpa teman, namun dia takut diabaikan oleh Tuhannya. Dia kembali sebuah peluang, menjadi hakim muda. Kembali dia gagal. Namun tak ada sesal, karena dia menyadari sath hal, Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang istimewa untuknya.

Tahun hampir berganti, hidupnya baik-baik saja dengan rutinitas yang membuatnya lupa untuk meratap. Hingga seorang kerabat datang memberikan proposal ta'aruf. Ada sedikit bahagia di hatinya. Sesuatu yang di damba akhirnya datang tanpa dia duga. Dia semakin berbincang dengan Rabbnya, semakin lama pula dia bersujud. Selang 2 pekan, ternyata proses itu gagal. Luka itu masih ada namun tak menyakitkan baginya, dia sudah tau bagaimana harus berdamai dengan luka.

Kini tahun telah berganti, masih dengan pekerjaan dan ruangan yang sama. Namun tidak dengan usia, kini dia semakin menua. 30 tahun sudah dia hidup sebagai seorang wanita. Sebagai seorang manusia yang berkali-kali menangisi setiap kegagalan. Namun, dia tak pernah kalah. Dia selalu menang atas egonya.

"Tidak masalah bagiku jika orang beranggapan aku terlalu tua untuk menikah, atau jika aku terlambat menikah. Aku hanya berharap kapanpun aku menikah, itu adalah pernikahan pertama dan terakhirku" katanya pada seorang kerabat dekatnya.

Betul. Bagi Tuhan tak pernah ada kata terlambat. Segala sesuatu terjadi pada waktu yang tepat. Tuhan selalu punya cara untuk membuat hambanya tersenyum sekalipun duka tengah merundung.

Beberapa kali rencana pernikahan kandas, membuatnya semakin tenang. Toh baginya, bukan hanya kali ini Tuhan "membelokkan" rencananya. Dia percaya, di setiap belokan yang Tuhan arahkan, disitulah ada hadiah terbaik untuknya.

Dia memutuskan keluar dari tempatnya bekerja, meninggalkan karir yang direbutkan beberapa orang, melepaskan mimpinya untuk melanjutkan study, juga menenangkan pikirannya dari kejaran usia matang untuk menikah. Kini dia bekerja di sebuah yayasan pendidikan Islam. Mengabdikan hidupnya untuk agama, untuk berbakti pada kedua orangtuanya yang semakin renta.

Siapa sangka, dalam waktu 2 bulan persiapan seadanya dan semampunya, dia akhirnya menikah dengan pria yang tak dikenal sebelumnya.

-----------

Begitulah kisahnya. Bagaimana dia menjemput setiap kegagalan dan stereotip negatif dari orang-orang terdekatnya, dengan penuh kesabaran adalah pesan yang sangat luar biasa bagiku. Sangat manusiawi jika kita terluka ketika menghadapi setiap benturan yang tak sesuai dengan harapan. Namun yakinlah, segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan. Bersabarlah sebentar.

#komunitasonedayonepost
#ODOP-6

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Hanya Sebentar"