Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Selembar Kain

Tentang selembar kain, yang merubah hidupku.

-----

Ibu menatapku tanpa kata ketika melihat aku turun dari mobil. Tak masalah bagiku, setidaknya ibu masih mengenali aku, sebagai anaknya.

Pulang ke rumah, berarti meninggalkan dunia maya. Bukan karena tidak ada signal, karena aku tak pernah ingin waktuku bersama mereka terbuang sia-sia. Jadwalku yang seharusnya hanya 1 atau 2 hari, mendadak harus ku tambah hingga sepekan lebih. Karena ada satu hal yang aku luruskan pada ibu.

Beberapa hari di rumah, ibu sama sekali tidak mengomentari perubahanku. Semua nampak baik-baik saja, namun tidak sebenarnya. Benar, begitulah keadaannya.

Hingga pada satu sore, di ruang keluarga. Sepertinya Allah inginkan aku dan ibu hanya berdua, seperti saat itu.

"Ibu tidak suka kamu pakai cadar".

Runtuh sudah hatiku. Runtuh, hancur, dan air mata seakan tak mampu ku bendung. Aku diam, menunggu ibu melanjutkan kalimatnya. Ku hela nafas panjang, mencoba menahan air mata yang sudah bergelayut di kantung mata.

"Biasa sajalah. Tidak usah berlebihan seperti itu", sambung ibu.

Aku masih diam. Aku tidak ingin termakan emosiku hingga melukai pintu surgaku, bukan karena aku marah, namun sedihku tak mampu ku bendung lagi. Sedih yang perlahan berubah menjadi kecewa. Aku masih mencoba mengendalikan diriku, aku tak ingin Allah kecewa dengan sikapku nantinya.

Dalam diam, aku berpikir keras, jawaban seperti apa yang nanti akan ku berikan, hingga tak oerlu menyakiti hati ibu. Sungguh, aku tidak ingin pintu surgaku justru murka padaku.

"Kamu tau ustadzah yang tiap pekan isi pengajian itu kan? Kamu tau istrinya ustadz-ustadz yang ada di televisi itu? Mana ada yang bercadar? Mbakmu kan juga pakai kerudung besar seperti kamu, tapi dia juga tidak bercadar. ". Aku menyadari satu hal, ibupun sama kecewa dengan pilihanku.

Percakapan seriuspun akhirnya terbuka.

"Ibu, ini kan dianjurkan", jawabku singkat. Karena aku tak ingin ibu tahu, aku sedang menahan tangis.

"Ibu tau. Makanya dilepas aja, kamu juga tau kalau sunnah itu banyak", nada suara ibu sedikit meninggi, dan semakin membuat hatiku bergetar.

"Bu, justru kalo sunnah itu kan bisa nambah pahala kalau dikerjakan. Apalagi kalo niatnya baik. Aku hanya tidak ingin wajahku menjadi sebab ibu dan almarhum bapak ditarik ke neraka. Akau tidak tahu, apakah ibadah wajibku diterima atau tidak, karenanya aku ingin mengimbanginya dengan sebuah kebaikan bu".

"Kamu bisa puasa sunnah, itu jelas dalilnya. Lamu kan sudah ngaji, sudah sarjana, sudah ibu". Ibu masih memunggungiku, suaranya bergetar. Sungguh, aku ingin memeluknya dan menumpahkan tangisku di peluknya.

"Bu, ibu boleh minta apa saja dariku. Insya Allah aku akan manut, tapi tolong ijinkan akau pakai cadar", aku menatap punggung ibu yang sedikitpun tak bergeming. Ibu diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya ku dengar suaranya kembali.

"Ibu tidak ingin kamu jadi omongan tetangga". Tak terasa, beberapa tetes air mata sudah berhasil meloloskan dirinya tanpa meminta ijinku. Kuhela nafas panjang, aku tak ingin malaikatku ini tahu betapa lemahnya aku saat itu.

"Ibu, aku tidak khawatir jadi bahan gunjingan orang lain. Aku tidak takut tetangga membicarakanku, aku hanya butuh ijin ibu. Aku hanya butuh ridho, itu saja".

"Ibu khawatir jika mereka berpikir kamu ikut aliran sesat, jika kamu kaader teroris nak".

Sungguh, aku ingin memeluknya. Ternyata ibu mengkhawatirkan kehidupan sosial putrinya.

"Bu, tidak masalah jika mereka pikir aku teroris, jika mereka pikir aku ikut aliran sesat. Bagiku, cukup ibu tahu aku baik-baik saja itu sudah cukup. Aku tidak butuh penilaian mereka. Tolong ijinkan aku pakai cadar bu".

Ibu diam dan masih memunggungiku.

"Ya sudah terserah kamu kalau mau pakai, kamu sudah dewasa. Sudah pinter".

"Bismillah bu, aku akan baik-baik saja. Terimakasih bu, terimakasih"

Ku peluk ibuku dari belakang, ku cium kedua tangannya. Ibu masih diam tak merespon apapun, namun ku dengar detak jantungnya pun memburu. Beberapa tetes air mata, kini kuijinkan mengalir sesukanya.

Tentang selembar kain, yang kisahnya batu saja di mulai~

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Selembar Kain"