Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nabi Ibrahim dan Lastri

Ketika menyamakan langkah lebih terasa mudah daripada pikiran, juga ketika mengajak kembali pada Tuhan lebih susah daripada mengajak menghamburkan uang. Percakapan dua manusia dewasa, bagaiamana Tuhan dan kehidupan sosial telah membentuk karakter mereka.

"Tanpa kukatakan padamu, seharusnya engkau tau jika Islam telah mendarah daging pada hidupku." Lastri menatap Sundari dengan buas.
"Tapi tidak dengan menggunakan kerudungmu?" Sanggah Sundari.
"Aku tidak akan mendapatkan posisi ini jika masih menggunakan kerudung itu Sun. Semuanya terasa susah."
"Tidak ketika engkau mencoba Las."
"Tuhan itu Maha Pengampun. Biarlah ini menjadi urusanku dengan Tuhan."
"Tapi siksa Tuhan juga amat pedih Last." Sundari tak melepaskan pandangannya dari Lastri, "jangan pilih-pilih perintah Tuhanmu. Syariat itu ditegakkan bersamaan."

Lastri memalingkan wajahnya, sebagian wajahnya yang lain nampak tertutup geraian rambut panjangnya. Beberapa helai naamapak ditambahkan pewarna rambut kecoklatan. Sundari masih menatapnya.

"Las, kau bilang Islam mendarah daging pada hidupmu. Tapi perintah Tuhanmu tidak kau jalankan, kerudungan kui wajib Las."
"Aku ngerti! Ora usah keminter awakmu!" Suara Lastri meninggi.
"Aku atau kamu yang merasa pandai? Sundari menegakkan punggungnya,"Apa menurutmu Nabi Ibrahim menyukasi Islam?"

Kini Lastri nampak ragu. Nabi? Bukankah mereka adalah utusan untuk menyampaikan wahyu? Dia mengermyitkan keningnya,"Maksudmu?"
"Bayangkan, Tuhan menyutuhnya tetap tenang ketika kobaran abi membakar tubuhnya. Bahkan ketika Nabi Ibrahim telah lama menanti kedatangan buah hati, lalu Tuhan menyuruhnya meninggalkan istri dan bayinya di tengah gurun. Bukann hanya itu, ketika Ismail telah beranjak dewasa, kembali Tuhan perintahkan dia untuk menyembelihnya. Bayangkan Las, apa yang akan kau lakukan?"

Sundari sedikit mencodongkan tubuhnya ke depan, "Las, dengakan. Islam itu salam-perdamaian, salim-berserah diri. Agama itu bukan cuma soal kamu sukaa atau tidak." Sundari melanjutkan,"jangan karena kamu lahir dan tumbuh di keluarga mayoritas muslim, maka kamu katakan Islam telah mendarah daging dalam hidupmu."

Lastri membuang muka, rambutnya yang halus nampak bergoyang-goyang tertiup angin.
"Lastri. Jangan kamu pilih aturan yang kamu suka dan meninggalkan yang tak cocok denganmu. Tuhan itu mengatur hidup kita dengan cara yang sama, bersyukurlah dirimu lahir dalam keadaan Islam."

"Sun, apa Nabi Ibrahim pernah mbantah Gusti Allah?" Suara Lastri lirih.
"Tidak. Karena bagi Nabi Ibrahim, melakukan segala perintah Tuhannya adalah bentuk penghambaan tertinggi seorang ummat." Sundari tak melepaskan pandangan dari Lastri, "tapi Nabi Ibrahim pun pernah merasa sedih ketika untuk pertama kalinya dia diperintahkan melakukannya."

Lastri mendongakkan kepala, "apakah Nabi Ibrahim juga lahir dalam keadaan Islam?"
"Tidak," Sundari terlihat tenang, "keluarganya adalah penyembah berhala, bahkan ayahnya dalah pembuat patung. Tapi Nabi Ibrahim mau hijrah, mau meninggalkan kejahiliyahan."

Suara Sundari setengah berbisik namun tegas, "Las, Islam itu datang untuk memuliakan manusia. Kadang apa yang kita suka ternyata tidak baik buat kita, tapi Gusti Allah selalu tau apa yang terbaik buat hambanya". Sundari menghela nafas panjang, "jangan lupa, setiap perintah-Nya yang kita langgar, selalu ada hukuman yang menunggu kita. Jika tidak di dunia maka di akhirat hukuman itu kita rasakan. Ingat itu."

Lastri terdiam, membiarkan rambutnya berantakan tersapu deru angin yang semakin kencang. Sundari telah beranjak, meninggalkam temannya dengan tetesan air mata yang jatuh perlahan.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Nabi Ibrahim dan Lastri"