Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pak Heri

Pagi itu, sekitar setahun 2 tahun yang lalu. Seorang pria berumur setengah abad mengajakku berbincang tentang pernikahan. Seorang pria, yang kemudian kusebut "dosen pembimbing".

************************************

"Bagaimana skripsimu?" tanya beliau.
"Alhamdulillah lancar pak? Sudah saya revisi bab 3, juga sudah saya tambahkan hasil wawancara dengan Pak Joko" jawabku dengan waspada.
"Kamu sudah kuasai betul ya skripsimu ini? Literatur sudah ada semua?" beliau kembali bertanya tanpa melihatku, matanya asik menari diatas kalimat-kalimat, jarinya sigap membalik setiap lembaran kertas dengan tepat, tak pernah kelebihan lembar.
"Sudah pak. Saya punya semua pak, ada sekitar 20 buku, beberapa puluh jurnal ilmiah dan kurang lebih 25 peraturan perundang-undangan pak" jawabku yakin. Beliau kini menatapku.

"Setelah lulus mau langsung kerja?"
"Iya pak, ibu mintanya gitu"
"Lho, yang saya tanya kan kamu" beliau menyandarkan punggungnya, melipat kedua tangannya dan masih saja menatapku, matanya meruntuhkan kepercayaan diriku. Kubetulkan posisi dudukku.

"Kalau saya pengennya nikah pak" jawabku malu, tak lupa ku tambahkan senyum di akhir kalimatku.
"Nah gitu. Sudah mau sidang skripsi, jawabanmu harus yang yakin ya"
"Iya pak" aku mulai nyaman dengan situasi ruang yang sepi dan obrolan yang menyenangkan, bagiku"

"Saya kasih nasihat ya. Saya kan sudah lebih dulu menikah, lebih tua dari kamu juga. Pengalaman tentu saya yang lebih banyak to?"
"Iya pak"
"Kalau cari suami, enggak usah muluk-muluk nok. Itu. Gimana?" beliau seolah sedang membaca pikiranku yang berlari tak karuan arahnya.

"Cari yang sholatnya tepat waktu, yang taat sama orangtuanya, yang penyayang. Ini penting. Kalau dia ternyata enggal peduli sama wong tuamu gimana? Apa kamu enggak merana nanti?". Aku menganggukkan kepala menyetujui pendapatnya dan aku semakin mengagumi beliau.

"Ya gitu lah. Cari suami yang agamanya bagus. Sudah, kalau ini nilainya 100, insya Allah rumah tangga kalian diberkahi Gusti Allah. Gitu ya nok? Selain pembimbing skripsimu, Pak Heri kan juga diamanahi orangtuamu untuk didik kamu. Bener to?"
"Iya pak betul"
"Makanya Pak Heri suruh kamu riset, suruh kamu baca buku-buku, suruh kamu ke Pak Joko ya karena Pak Heri punya tanggungjawab moral sama orangtuamu. Pak Heri harus mengantarkan kamu sampai ke pintu gerbang kemerdekaan, merdeka sebagai mahasiswa, iatilahnya sampai kamu wisuda. Kan gitu?"

Sungguh, jika aku bisa mengatur waktu. Ingin kupanjangkan waktuku bersama beliau. Memang, selalu ada nasihat yang mengetul hati ketika bertemu dengannya. Jadwal bimbingan skripsi yang tak akan terlupa.

"Pak Heri harus pastikan kamu benar-benar siap dilepaskan di masyarakat. Kalau sekedar wisuda, Pak Heri bisa saja meluluskan skripsi tanpa lama-lama bimbingan. Berapa kali kamu bimbingan sama saya?"
"Ini yang ke 37 kali pak"
"Nah, padahal syaratnya sidang kan cuma 8 kali to? Pak Heri enggak mau mahasiswa bimbingan Pak Heri biasa saja" beliau tak melepaskan matanya dariku. Akupun memberanikan diri menatap beliau. Ya, ada ketulusan di kedua bola matanya. Ada cinta seorang ayah pada putrinya.

"Termasuk juga setelah kamu lulus nanti, katanya kamu nikah. Ya silahkan, yang penting semuanya sudah kamu rencanakan dengan baik, kalaupun ada yang meleset kan tidak jauh? Betul tidak?"
"Iya pak betul" senyum kesekian kali yang kuberikan pada sesi bimbingan kali itu.
"Kalau kamu jadi ibu rumah tangga, ya enggak masalah. Wong ibu rumah tangga itu mulia, kamu bisa jadi ibu rumah tangga yang sadar hukum. Kami bisa ajarkan ke anak-anakmu bagaimana menjadi warga negara yang taat dan peduli hukum. Berat itu ndhuk tanggungjawabnya. Ya, sudah paham ya kamu?"
"Insya Allah sudah pak"
"Ini Pak Heri acc, tolong buatkan copy-an ini rangkap 3. Saya tunggu sekarang, kalau telat saya tinggal. Ini, sana keluar dulu" perintahnya.

Aku keluar dengan wajah bahagia. Sekalipum perintah-perintah beliau kerap membuatku berlari mengelilingi kampus, setidaknya selalu kudapatkan pesan hidup yang sangat bermanfaat. Tak terasa, hampir setahun aku bimbingan skripai dengan beliau, dan disetiap jadwal bimbimbangan tak pwrnah sekalipun terlewat tanpa mengesankan.

************************************

Pak Heri, alhamdulillah saya sudah menikah tak lama setelah saya diwisuda. Terimakasih pak, telah mengantarkan saya ke depan pintu kemerdekaan. Cerita tentang Pak Heri, aka selalu hidup di dunia saya. Akan saya kenalkan siapa Pak Heri kepada anak cucu saya nanti.
Pak Heri, saya rindu.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Pak Heri"