Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sebuah Perjalanan Keteguhan

Sebuah perjalanan panjang yang kemudian meminta raga untuk istirahat barang sejenak. Matahari masih belum nampak, udara yang dingin menusuk menjadi kawan pendakian malam itu. Dia memimpin perjalanan, menentukan bagaimana susunan barisan. Karena dia pun ingin memastikan kebaikan kelompok kecilnya.

Mereka melingkar, berdiri saling merapatkan badan, dan merapalkan doa-doa berharap keselamatan pada Illahi. Disini, kebersamaan mereka akan diuji. Seberapa mereka peka mereka atas segala kejadian selama perjalanan. Di perjalanan itulah, kemudian Tuhan menunjukkan kuasanya.

"Aku enggak kuat. Kalian jalanlah, jangan sampai ketinggalan sunrise yang kita mimpikan," salah seorang dari mereka sepertinya ingin menyerah.
"Enggak bisa Ke. Kita harus bareng, lihat sunrise bareng atau kita turun bareng?" tanya Allian sebagai ketua tim.

Keke terbaring lemah di atas tanah, berbantal sebuah batu hitam besar. Matanya terpejam, nafasnya tersengal. Salah seorang dari mereka baru saja mengoleskan minyak angin ke telapak tangannya. Wajahnya pucat, badannya juga dingin.

"Kalian naiklah. Aku akan tunggu disini sampai Keke membaik. Kita susul kalian," lanjut Anto yang iba melihat keadaan temannya. Keke mendengar semuanya namun tak kuasa berucap sepatah katapun. Keringat dingin semakin membasahi tubuhnya.
"All, enggak apa-apa. Kalian naiklah. Lihatlah sunrise dan fotokan buat kita. Kalau Keke membaik, kita akan bertemu di puncak. Jika tidak, maka kami menunggu di Pos Pendakian," Anto mencoba memberikan alternatif pilihan.

Tak ada pergerakan. Mereka masih disana. Bergerombol di semak, sesekali memaikan lampu emergency yang dibawa. Ada sedikit tawa yang menemani Keke terkapar di tengah jalan. Rombongan lain melewati mereka, mengucap permisi pada Keke yang terus memejamkan mata.

"Ke, gimana? Kamu kuat enggak? Aku sama Anto bawa kamu ke Pos ya? Lain kali kita naik lagi, demi kamu," Mada sedikit berbisik di sebelah Keke.
"Da, naiklah. Matahari sebentar lagi terbit. Sebentar lagi adzan shubuh," Keke mencoba menjawab.
"Ke, kamu yang kemarin keukeuh naik, bahkan tiap hari kamu latih kaki yang bengkak itu supaya kuat buat jalan demi pendakian. Kalau kamu enggak kuat naik, kita semua pulang Ke," Allian menegaskan kalimat terakhirnya. Di balik matanya yang terpejam, Keke berseteru dengan dirinya.

"Ke, kita shubuhan disini ya. Tayyamum. Kebetulan mataharinya udah terbit Ke," Anto dan Mada saling tatap.
"Apa aku bopong kamu Ke? Biar kamu bisa sholat?" Mada sedikit berkelakar.
"Enggak usah Da. Aku kuat kok. Aku naik sendiri. Aku bisa," Keke tersenyum.

************************************
"Alhamdulillah Keke udah sehat nih. Gimana kita lanjutkan enggak jalannya? Walaupun rencana jam 5 sampai puncak, tapi qodarullah jam 6 kita baru mau naik," Allian berseloroh. Riuh tawa mengelilingi mereka.

Keke. Perempuan muda yang beruntung karena di dekatnya banyak orang hebat yang Tuhan kirimkan. Sebab merekalah alasan Keke melanjutkan pendakian. Tak ingin meninggalkan kekecewaan pada gurat wajah sahabat-sahabatnya itu.
Bertuju mereka akhirnya berjala perlahan menuju puncak. Matahari meninggi, dengan sedikit sinar menyilaukan mata.

"Kita berhenti dulu. Beri waktu Keke untuk istirahat sebentar," pinta Allian.
Mereka melingkar di sebuah lahan datar yang tak terlalu luas. Di bawahnya nampak tebing curam berhias bebatuan yang berpasir. Sungguh Tuhanlah Yang Maha Besar.

"Pos kita ada di bawah sana Ke," Alian menunjuk salah satu musholla berwarna hijau.
"Jauh juga ya," Keke menjawab dengan terkekeh.
"Makanya kalau tadi kamu turun, sebenarnya sama jaraknya kalau kita ke puncak. Kan rugi ... ," Allian menatap Keke. Mereka tertawa.
"Al, aku harus sampai puncak. Jangan sampai aku kecewa setelah semua yang terjadi," Keke meyakinkan dirinya.
"Harus," jawab Allian singkat.

************************************
"Aku enggak kuat lagi nih kalau harus naik. Aku sampai sini aja," Nisa dan Ulya, dua sahabat perempuan Keke bersepakat.
"Iya, kita juga nih. Badan udah berat banget," Mada dan yang lain pun kini merebahkan badannya di rerumputan.
"Kalian naiklah. Puncak sudah kelihatan. Aku akan temani mereka, kamu temani Keke naik," Anto yang baru bergabung terlihat kesusahan membawa 2 carier, satunya milik Keke.
"Anto jangan gitu. Kita naik bareng-bareng. Tadi kalian udah support aku banget," Keke menatap wajah sahabatnya bergantian.
"Enggak apa-apa Ke. Mungkin Tuhan tadi minta kamu istirahat, biar tubuhmu kuat diajak ke puncak. Diantara kita semua kan kamu yang paling sampai puncak. Kita disini aja Ke, its okey. We're fine," Anto memberikan carier Keke.
"Siap Ke?" Allian mengagetkan Keke. Keke nampak bingung.
"Ke, sana naik sama Al. Nanti tugas kalian kasih kita foto-foto yang bagus ya. Setiap langkah harus ada dokumentasinya," Nisa menggoda Keke. Mereka berpelukkan.

************************************
"Ke kamu tahu, kenapa kebanyakan pendaki menyerah ketika puncak sudah di depan mata?" Allain bertanya sembari mencari pijakan yang tepat untuk mereka berdua.
"Entah"
"Karena mereka tidak mau memaksa dirinya Ke. Beda sama kamu. Kamu yang tadi pagi bener-bener drop, justru sekarang kamu yang paling kuat diantara kita  termasuk aku,"
"Enggak lah Al. Mereka juga kuat kok. Aku cuma enggak mau perjalananku ini sia-sia, aku harus pulang bawa pengalaman baru Al. Aku sudah bertekad meyelesaikan pendakianku"
"Itulah bedanya mereka dengan kamu Ke. Itu puncaknya Ke," Keke tersenyum di belakang Allians.

Nampak beberapa gunung dari puncak itu: Ungara, Sindoro, Sumbing, Merbabu, bahkan Merapi begitu cantik berdiri kokoh berhias langit biru dan awan yang bersih.

"Al, ternyata manusia itu kecil banget ya," Keke menikmati setiap sapuan matanya, selalu takjub dengan segala ciptaan Tuhan
"Kamu kan emang kecil Ke" Al mencoba membuat guyonan, mencairkan suasan ketika 5 teman mereka nampak seperti titik berwarna dari puncak.
"Jadi kapan kita Merbabu Al," Keke dan Allian berdiri bersisihan di tepi tebing, memandang Merbabu begitu anggunnya.
"Nanti ya Ke. Segera setelah tugasku rampung,"

************************************

Mereka kini telah terpisah oleh setumpuk kesibukan dunia masing-masing. Namun cerita tentang perjalanan mereka masih hidup sampai saat ini. Sebuah perjalanan tentang keteguhan juga kepekaan terhadap manusia lain. Sebuah perjalanan yang selalu menumbuhkan rindu pada tiap individunya.

Sebuah perjalanan yang juga menunjukan betapa Tuhanaha Segalanya. Jika Tuhan begitu mudahnya menciptakan seluruh alam semesta dengan begitu apik, maka tak akan pernah susah bagi-Nya untuk menghentikan dan menghancurkan seluruh kehidupan ini. Tuhan, dibalik pesan yang ingin manusia terima, ternyata Tuhan pun ingin mengingatkan manusia, bahwa tak satupun makhluk yang berdiri atas dirinya sendiri, selalu ada tangan-tangan  yang besada dibaliknya, termasuk tangan-Nya

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Nimas Achsani
Nimas Achsani Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Post a Comment for "Sebuah Perjalanan Keteguhan"